Rabu, 22 Juli 2009

SIDRATIL MUNTAHA

SIDRATIL MUNTAHA

Oleh : K Suheimi

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambanya-Nya pada satu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah kami berkati sekelilingnya ; karena hendak kami perlihatkan kepadanya tanda – tanda kami. Sesungguhnya dialah Allah yang maha mendengar dan maha melihat ( Al Isra' ayat 1 ).

Maha suci Dia yang telah menjadikan langit dan bumi. Maha suci Dia yang telah menjadikan Adam dan Hawa. Maha suci Dia yang telah melahirkan Isa dari Maryam yang suci Dia yang telah membelahkan laut untuk Musa. Maha suci Dia yang telah memperjalankan hambanya pada malam yang penuh berkah dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, sehingga malam itu Rasulullah Muhammad S.A.W sampai ke Sidratil Muntaha.

Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Maka apakah kami hendak membantahnya tentang apa yang dilihat itu ? Padahal sesungguhnya dia telah melihatnya sekali lagi. Di dekat Sidratil Muntaha. Yang disisinya ada syurga tempat kembali. Tatkala sidratil muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang meliputi. Tidak berpaling penglihatan matanya dan tidak dia melampaui batas ( An Najmm 11 – 17 )

Sidratil Muntaha, tidak ada tempat yang lebih tinggi dari itu. Tiada langit sesudah Sidratil Muntaha. Disana ada Arsy-Nya . Tiada satu katapun yang dapat melukiskan betapa tiada terpermai indahnya Sidratil Muntaha itu. Kelu lidah Rasullullah sewaktu kepadanya ditanya oleh sahabat; bagaimana indahnya Sidartil Muntaha. Tiada kata yang dapat menggambarkan betapa megahnya Sidratil Muntaha. Suatu tempat yang tak pernah terbayangkan oleh hati, yang tak pernah terpikirkan oleh otak dan tak terjangkau oleh angan – angan. Tempat itu begitu mulia, tempat itu begitu agung dan begitu suci. Tersungkur Rasulullah sesampainya di Sidratil Muntaha, dia menyaksikan sesuatu yang tak pernah terfikirkan, sesuatu yang tak pernah terbayangkan selama ini. Di sana dia tergoncang, disana dia tergetar, getaran dan goncangan inilah menggetarkan dunia dengan seluruh isinya. Disana dia berdialog dengan Allah, disana dia menerima perintah Shalat, tanpa perantara tanpa Jibril. Disana dia mengalami suatu pengalaman relegius yang tak dapat ia lukiskan.

Semua menginginkan agar sampai ke Sidratil Muntaha, begitu juga nabi dan para rasul namun tiada kesampaian. Lihatlah nabi Ibrahim, berulang kali dia meminta untuk dapat melihat wajah-Nya, namun dia tidak bisa dan tidak sanggup, serta tidak diperkenankan. Demikian pula dengan Nabi Musa, sampai mendaki Bukit Thursina, namun matanya silau tiada sanggup dan tiada mampu dia.


Jangankan manusia, Nabi dan rasul, Malaikat Jibrilpun tak diperkenankan ke Sidratil Muntaha. Ingatlah tatkala Jibril berkata pada Muhammad : " Sampai disini ya Muhammad, aku tak sanggup lagi menemuimu. Hanya engkaulah satu – satunya makhluk yang diperkenankan oleh Allah untuk menghadapnya dan memijakan kaki di Sidratil Muntaha "

Muhammad berhadil sampai ke Sidratil Muntaha, tempat yang diidamkan dan dicita – citakan oleh semua makhluk, namun setelah sampai disitu dia kembali lagi. Tak hendak dia meminta untuk kesenangan dirinya, adainya dia bermohon agar diizinkan menetap di Sidratil Muntaha, mungkin sebagai Makhluk yang dicintai oleh kahliknya mungkin permohonan itu akan dikabulkan oleh Tuhan. Tapi dia tidak memohon itu, dia tidak meminta untuk dirinya sendiri. Sebagai rasul di kakinya terhampar dunia. Di dunia dia harus menyampaikan risalah, di dunia dia di caci, dimaki, dihina, dilempari dengan tahi onta. Giginya rontok, punggungnya berdarah, dia kelaparan. Ditanggungnya derita itu, di tanggungnya sakit itu, untuk apa ? Untuk umatnya, agar umatnya dapat keluar dari zaman jahiliyah menuji zaman yang terang – benderang dengan kehidupan yang mulia. Sayang sebagian dari umat itu, tidak menghargai pengorbanan dari Rasul, sebagian uamt itu justru kembali kezaman jahiliyah, bahkan lebih tidak beradab lagi.

Setiap kali kita memperingati Isra' dan Mi'raj, hendaklah kita mengadakan evaluasi dan penilaian terhadap shalat yang telah kita kerjakan. Apakah sama saja shalat kita tahun yang lalu dengan tahun sekarang. Berulang kali kita memperingati Isra' Mi'raj , namun apakah artinya bagi kita dan sejauh mana baru shalat itu telah mewarnai hidup dan pribadi kita. Apakah shalat itu telah mencegah kita dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Apakah shalat itu telah membina pribadi dan akhlak kita menjadi akhlakul karimah, akhlak yang mulia, teguh dan agung seperti yang dicontoh oleh Nabi Muhammad S.A.W

Di dunia dia pernah ditawari dengan kemilauanya harta, mulinya tahta dan cantiknya wanita. Memang di dunia ini ada 3 godaan yang berat, dimana manusia sering dibikinnya bertekuk lutut, ialah harta, tahta dan wanita.

" Apa yang kau cari diatas dunia ini ya Muhammad ? " kata orang Quraisy. "Apakah kau ingin harta ? Akan kami himpun seluruh harta orang Quraisy dan akan kami berikan kepadamu, sehingga engkaulah orang yang terkaya bagi kami " Rasul menggeleng.

" Atau mungkin kau ingin jabatan , kami angkat engkau jadi penghulu kami, sehingga engkaulah yang paling tinggi pangkatnya diantara kami sekalian, tinggalkan tugasmu untuk menyampaikan risalah". Rasulpun kembali menggeleng.

" Atau kau ingin wanita cantik ? Akan kami carikan wanita yang tercantik untukmu, tapi tinggalkanlah menyampaikan risalah "


Dijawab oleh Rasulullah : " Dengar hai orang Quraisy, andaikan bisa engkau memetik rembulan dan meletakkan pada tangan kiriku dan dapat engaku mengambil matahari dan meletakkannya pada tangan kananku, lalu kamu suruh aku untuk tidak menyampaikan risalah, dengarlah " Lakum dinukum wa liadin" bagimu agamu dan bagiku agamaku "


Kenapa Rasul, tidak tergoda oleh harta ? Karena beliau telah sempat punya harta yang banyak, baik melalui harta Khadijah maupun dari perdagangan beliau yang selalu sukses. Disamping itu sewaktu beliau mi'raj kepada beliau telah diperlihatkan syorga dan di dalam syorga harta apa yang tidak ada, semuanya lengkap dan semuanya sempurna.


Sewaktu kepadanya ditawarkan tahta, tentu saja tahta itu tak berarti apa – apa kalau dibandingkan dengan Sidratil Muntaha syorga di samping – Nya.


Sewaktu beliau ditawarkan wanita, tentu saja bidadari di syorga lebih cantik, tetap awet muda dan tetap perawan, tiada seujung rambutpun kecantikannya bila dibandingkan dengan wanita bumi ini, apalah artinya di dunia ini. " Walal akhiratu khairul laka minal ula" sesungguhnya kehidupan akhirat itu jauh lebih baik dari kehidupan dunia.


Suatu ketika, diwaktu Rasululah berada di Mina dan menyampaikan ayat yang baru turun yaitu surat Al Maidah 67. Seketika itu juga khalayak yang ada disekitar beliau melemparinya dengan batu, sehingga kakinya lulka – luka berdarah !

Yang terdengar dari mulut Rasulullah diwaktu itu adalah doa : " Wahai Tuhanku, berilah hidayah kepada kaumku ini, lantaran mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat ."

Waktu beliau menjawab pertanyaan pamanya Abu Thalib, yang menyampaikan ultimatum pembesar – pembesar Quraisy : " Wallahi ma taraktuh . Demi Allah, sekali – kali tidak akan kutinggalkan tugasku ini, sampai perjuangan ini dimengani oleh Allah atau aku hancur didalamnya. "

Suara jiwa yang demikian itu juga yang berbicara , tatkala Muhammad S.A.W menyampaikan sikapnya terhadap penduduk Mekah yang datang berduyun – duyun kepadanya, dengan hati berdebar - debar menunggu akan bagaimana nasib mereka setelah Rasulullah memasuki Kita Mekah dengan 10.000 tentara tanpa perumpahan darah : " Wahai masyarakat Quraisy tidak ada satu gugatanpun terhadapmu hari. Pergilah kamu semua dalam keadaan bebas" !


Berbeda – bedan bentuk reaksi Nabi Muhammad S.A.W pada 3 peristiwa yang berbeda itu. Yang pertama berupa doa. Yang kedua tantangan menyambut tantangan dan yang ketiga memberi maaf, penutup bagi dendam dan kesumat.


Diwaktu beliau dimaki – maki dan dilempari batu oleh oran g- orang jahil di Mina itu, tidaklah beliau hanyut dalam harus sakit, pribadinya, lahir maupun bathin, akan tetapi beliau diliputi oleh kemasyqulan, mengenang nasib orang – orang jahil itu sendiri, yang sebenarnya tidak tahu apa yang mereka perbuat. Lalu beliau berdoa, semoga Allah membuka mata hati mereka dengan hidayah-Nya.


Pada peristiwa kedua, waktu beliau mendengar segala ancaman ultimatum dari pemimpin Quraisy supaya beliau menghentikan saja memanggil orang – orang kepada Tauhid, tidaklah beliau diliputi oleh pertimbangan keamanan pribadi, tetapi oleh rasa tanggung jawab dan kewajibannya. Baliau lebih rela gugur dalam menjalankan tugas, dari pada menyerahkalah dan tunduk kepada gertakan. Lalu dihadapinya tantangan dengan jawaban yang setimpal.

Pada peristiwa ketiga, diwaktu beliau dengan umat mukmin mencapai kemenangan gilang gemilang, sebagai penutup suatu perjuangan hampit ¼ abad terus menerus, bukanlah kesombongan atau kehausan dan kelezatan membalas dendam yang meliputi hati-Nya, akan tetapi syukur kepada Illahi dan maaf atas mereka yang telah tunduk kepada kebenaran. Dirasakan-Nya bahwa pada hakekatnya yang menang adalah Kalimatullah Hiyal "Ulya. Bukan hanya pribadi – Nya. Diulangnya kata Nabi Yusuf :"Tidak ada gugatan apa – apa atasmu pada hari ini ; semoga Allah mengampuni mu; lantaran Dia yang paling penyayang".

Tidak ada komentar: