Minggu, 30 September 2007

BERPIKIRLAH RASIONAL DAN POSITIF

SEMENIT SAJA

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!

Betapa lamanya melayani Allah SWT selama lima belas menit namun
betapa singkatnya kalau kita melihat film.

betapa
sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun

betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman
tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa
asyiknya a pabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun

kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa
sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur'an tapi

betapa mudahnya membaca 100
halaman dari novel yang laris.

Betapa
getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun

lebih senang berada di shaf paling belakang ketika berada di Masjid

Betapa
mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun

alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.

Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun
betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada
saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang
terkandung di dalam al qur'an; namun

betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa
mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun

betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.

Betapa Takutnya kita apabila dipanggil Boss dan cepat-cepat menghadapnya namun
betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat kumandang azan menggema.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga
seandainya tidak perlu untuk percaya atau
berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau
berbuat apa-apa.

Betapa kita dapat menyebarkan seribu
lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya
dengan FORWARD seperti api; namun

kalau ada mail yang isinya tentang Keagungan Allah SWT betapa seringnya kita ragu-ragu,
enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon DELETE.


ANDA TERTAWA ...? atau ANDA BERPIKIR-PIKIR. .?
Sebar luaskanlah Sabda-Nya, bersyukurlah
kepada ALLAH SWT, YANG MAHA MENGETAHUI, MENDENGAR,
PENGASIH DAN PENYAYANG.
Apakah tidak lucu apabila anda tidak memFORWARD pesan ini. Betapa banyak
orang tidak akan menerima pesan ini, karena
anda tidak yakin bahwa mereka

masih percaya akan sesuatu

Rabu, 26 September 2007

UNTUK APA KITA HIDUP

Kita lahir ke dunia. Tumbuh menjadi besar. Sekolah dari TK , SD , SMP, SMU dan jika beruntung meneruskan kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak. Jika umur panjang, masih bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung- canggah. Lalu mati. Itulah gambar kasar dari hidup kita. Lalu hari-hari hidup itu adalah bangun, mandi, makan pagi, bekerja atau sekolah, makan siang, mengisi waktu dengan berbagai aktivitas, mandi lagi, makan malam, dan tidur lagi. Kebanyakan dari kita melakukan hari-harinya seperti itu.

Lalu apa sebenarnya hidup kita ini ? Karl Marx pernah berkata, ” Hidup itu perut kenyang”. Maksudnya hidup itu untuk makan (saja). Sedangkan Sigmund Freud berpendapat hidup itu pemenuhan kebutuhan seksual belaka, lain tidak. Jika kita tanya orang-orang di sekitar kita tentang ‘untuk apa kita hidup ?’ mungkin -dan sangat mungkin- jawaban yang kita peroleh adalah sebanyak orang yang kita tanyai. Maksudnya adalah satu orang menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda dari yang lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx berbeda dengan Sigmund Freud.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita hidup tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta, Alloh subhaanahu wa ta’ala. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu..” (QS: Adz-Dzaariyaat: 56).

Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.

Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah hidup kita ini hanya untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ? Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya, lebih dulu harus kita pahami makna ‘ibadah’ itu.

Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), raja’ (mengaharap rahmat Alloh subhaanahu wa ta’ala), mahabbah (cinta kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), tawakkal adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir, tahmid adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, membantu orang kesulitan adalah ibadah badan dan hati.

Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala) atau apa saja yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala. Seperti tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu tidaklah sempit cakupannya, bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Sebagai contoh ibadah di luar masjid adalah bekerja. Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bekerja dan memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: ” Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari hasil kerjamu sendiri” (HR: Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari ‘A-isyah dengan sanad shahih).

Ketika para sahabat menyaksikan seorang laki-laki berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, ” Seandainya (saja) ia berjalan di jalan Allah (berjihad).” Kemudian Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam meluruskan pernyataan tersebut dan bersabda, yang artinya: “Jika ia keluar mencarikan nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah untuk dirinya dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya’ (pamer) dan sombong, maka ia di jalan setan. ” (HR. Ath-Thabrany dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad shahih).

Rasululloh shallaalaahu ‘alaihi wa sallam -yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam beribadah- pada waktu kecil bekerja menggembala kambing dengan upah beberapa dinar. Kemudian beliau juga pernah berdagang. Begitu pula dengan para salafush-sholih (para pendahulu Islam yang sholih) mereka juga mencari nafkah dan membenci pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu ‘anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah bekerja sebagai penulis kitab bayaran.

Jadi merupakan pandangan yang salah jika ada orang yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu saja, bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang diniatkan untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dan menjaga kehormatan muslim serta harus dengan cara yang halal. Jika bekerja namun diniatkan untuk menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa memikirkan hak anak, istri, orang tua serta ditempuh dengan cara yang haram masih ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan mncari ilmu agama misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini tidaklah bernilai ibadah, bahkan hanya menambah dosa.

Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika kita telah berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.

Agar bisa diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan syarat: Ikhlas karena Alloh subhaanahu wa ta’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil & Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu ‘alaihi wa sallam

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha ilaaLlaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammadur-Rasulull oh karena ia menuntut wajibnya ta’at keada Nabi, mengikuti tuntunannya dan meninggalkan bid’ah (ibadah atau cara beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh subhaanahu wa ta’ala, yang artinya: ” Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun (terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al-Kahfi :110).

Kalimat “..maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih..” merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena amal shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi. Sedangkan “..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya.” meruplakan manifestasi syarat pertama, yaitu keharusan ikhlash.

Dua syarat ini merupakan keharusan yang mutlak. Jadi adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak pernah dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya : ” Yang penting kan niatnya” atau ” Yang penting kan ikhlas”.

Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak pernah membolehkannya) maka amal itu ditolak” (HR: Al-Bukhary dan Muslim ). Begitu pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan Nabi namun niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa jalla.

Dua syarat ini haruslah dipahami dan berusaha terus untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu saja merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim banyak ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh subhaanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, langkah awal seorang muslim agar tujuan hidupnya tercapai adalah belajar dulu bagaimana cara beribadah yang benar dan dapat diterima. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji, tidak pernah belajar agama bisa benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya kita ini adalah ibadah -yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain tidak.

Maka marilah kita hidupkan semangat mencari ilmu agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima oleh Allah, sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup kita tercapai. Marilah kita baca Al-Qur’an, kita pelajari isinya melalui buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya melalui majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah sampai di kuburan nanti.

(Sumber Rujukan: Kitab Tauhid, Asy-Syaikh Dr. Shaleh Al Fauzan)

KHOTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN

KHOTBAH NABI S.A.W. MENYAMBUT RAMADHAN
"Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh
keberkatan. Allah telah mewajibkan kepadamu puasa-Nya. Didalam bulan
Ramadhan dibuka segala pintu syurga dan dikunci segala pintu neraka
dan
dibelenggu seluruh syaithan. Padanya ada suatu malam yang terlebih
baik
dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan
malam
itu, maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan."

"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan penghulu segala bulan,
maka "Selamat datanglah" kepadanya."

Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang
senantiasa besar lagi penuh keberkatan, bulan yang Allah telah
menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan qiam dimalam harinya suatu
tatawwu'.

Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan
kebajikan didalamnya samalah dia dengan orang yang menunaikan sesuatu
fardhu didalam bulan yang lainnya. Barangsiapa menunaikan sesuatu
fardhu dalam bulan Ramadhan samalah dia dengan orang yang mengerjakan
tujuh puluh fardhu dibulan lainnya. Ramadhan itu adalah bulan sabar,
sedangkan sabar itu pahalanya adalah surga. Ramadhan itu adalah bulan
memberikan pertulungan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada
mukmin didalamnya.

Barangsiapa memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa,
yang demikian itu adalah pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan
dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh
pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa. Allah memberikan
pahala itu kepada orang yang memberikan walaupun sebutir korma, atau
seteguk air, atau sehirup susu. Dialah bulan yang permulaannya
Rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kemerdekaan dari neraka.
Barangsiapa yang meringankan beban seseorang (yang membantunya)
niscaya Allah mengampuni dosanya. Oleh itu banyakkanlah yang empat
perkara dibulan Ramadhan.

Dua perkara untuk mendatangkan keredhaan Tuhanmu dan dua perkara lagi
kamu sangat menghajatinya. Dua perkara yang pertama ialah mengakui
dengan sesungguhnya tiada tuhan melainkan Allah dan mohon ampun
kepada-Nya.

Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan
perlindungan dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang yang
berpuasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolamku
dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya,
sehingga dia masuk kedalam surga."

(H.R.Ibnu Khuzaimah)

Rabu, 19 September 2007

SEDEKAH

Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Oleh A. Muttaqin

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?”.

“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan syukur”. Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

***

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)

ZAKAT

ZAKAT PROFESI
Dasar Hukum
Firman Allah SWT :
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian" (QS.Adz Dzariyat 19)

Firman Allah SWT :
"..... Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.... "
(QS.AlHadid 7)

Firman Allah SWT :
"Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik....(AlBaqarah 267)

Ketentuan Zakat (Penghasilan) Profesi


Zakat profesi memang tidak dikenal dalam khasanah keilmuan islam, sedangkan hasil profesi yang berupa harta dikategorikan berdasarkan qiyas atas kemiripan (syabbah) terhadap karateristik harta zakat yang telah ada, yakni :

1. model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip dengan hasil panen(hasil pertanian), sehingga harta ini dapat diqiyaskan kedalam zakat pertanian berdasarkan nisab (653kg gabah kering giling atau setara dengan 552kg beras) dan waktu pengeluaran zakatnya (setiap kali panen)

2. model harta yang diterima sebagai penghasilan berupa uang, sehingga bentuk harta ini dapat diqiyaskan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan) berdasarkan kadar zakat yang harus dibayarkan (2,5%). Dengan demikian hasil profesi seseorang apabila telah memenuhi ketentuan wajib zakat, maka wajib baginya untuk menunaikan zakat.

Contoh :

Abdullah adalah seorang karyawan swasta yang berdomisili di Bogor. Mempunyai seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Penghasilan bersih per bulan Rp3.000.000,- serta penghasilan tambahan sebesar Rp1.500.000,-

Perhitungan zakatnya :

Pemasukan Gaji/bulan Rp 3.000.000,-

Pemasukan lainnya Rp 1.500.000,-

Rp 4.500.000,-

  1. Nishab

552kg beras@Rp5.000,- Rp 2.760.000,-

Zakat (dapat) dibayar
Setiap bulan sebesar 2,5%

Zakat 2,5%x Rp4.500.000,- Rp 112.500,-

Sekretariat DDS Rekening A/N Dompet Dhuafa Singgalang

Gedung Harian Singgalang ZAKAT : Bank Mandiri 111-000-500-488-8
Jl.Veteran No.17 Padang 25116 BNI Syariah 234-22222-4
Telp.0751-8235775/
36923/25001 Infaq/Sedekah :
Fax. 0751-33572 Bank Mandiri 111-000-500-
500-0
BNI Syariah 234-66666-6

Email : dompetdhuafa_singgalang@yahoo.com


Jangan takut jadi orang aneh

Jangan takut jadi orang aneh


"Dunia memang aneh", Guman Pak Ustadz
"Apanya yang aneh Pak?" Tanya Penulis yang fakir ini.
"Tidakkah antum perhatikan disekeliling antum, bahwa dunia menjadi
terbolak-balik, tuntunan jadi tontonan, tontonan jadi tuntunan,
sesuatu yang wajar dan seharusnya dipergunjingkan, sementara perilaku
menyimpang dan kurang ajar malah menjadi pemandangan biasa"
"Coba antum rasakan sendiri, nanti Maghrib, antum kemasjid, kenakan
pakaian yang paling bagus yang antum miliki, pakai minyak wangi, pakai
sorban, lalu antum berjalan kemari, nanti antum ceritakan apa yang
antum alami" Kata Pak Ustadz.

Tanpa banyak tanya, penulis melakukan apa yang diperintahkan Pak
Ustadz, menjelang maghrib, penulis bersiap dengan mengenakan pakaian
dan wewangian dan berjalan menunju masjid yang berjarak sekitar 800m
dari rumah.

Belum setengah perjalanan, penulis berpapasan dengan seorang ibu muda
yang sedang jalan-jalan sore sambil menyuapi anaknya"
"Aduh, tumben nih rapih banget, kayak pak ustadz, mau kemana sih?
Tanya ibu muda itu.
Sekilas pertanyaan tadi biasa saja, karena memang kami saling kenal,
tapi ketika dikaitkan dengan ucapan Pak Ustadz diatas, menjadi sesuatu
yang lain rasanya;
"Kenapa orang yang hendak pergi kemasjid dengan pakaian rapih dan
memang semestinya seperti itu ditumbenin?
Kenapa justru orang yang jalan-jalan dan ngasih makan anaknya ditengah
jalan, ditengah kumandang adzan maghrib menjadi biasa-biasa saja?
Kenapa orang kemasjid dianggap aneh?
Orang yang pergi kemasjid akan terasa "aneh" ketika orang-orang lain
justru tengah asik nonton sinetron "intan".
Orang kemasjid akan terasa "aneh" ketika melalui kerumunan orang-orang
yang sedang ngobrol dipinggir jalan dengan suara lantang seolah
meningkahi suara panggilan adzan.

Orang kemasjid terasa "aneh" ketika orang lebih sibuk mencuci motor
dan mobilnya yang kotor kehujanan.
Ketika hal itu penulis ceritakan ke Pak Ustadz, beliau hanya
tersenyum, "Kamu akan banyak menjumpai "keanehan-keanehan" lain
disekitarmu", kata Pak Ustadz.
"Keanehan-keanehan" disekitar kita?
Cobalah ketika kita datang kekantor, kita lakukan shalat sunah dhuha,
pasti akan nampak "aneh" ditengah orang-orang yang sibuk sarapan, baca
koran dan ngobrol.
Cobalah kita shalat dhuhur atau Ashar tepat waktu, akan terasa "aneh",
karena masjid masih kosong melompong, akan terasa aneh ditengah-tengah
sebuah lingkungan dan teman yang biasa shalat diakhir waktu.
Cobalah berdzikir atau tadabur al qur'an ba'da shalat, akan terasa
aneh ditengah-tengah orang yang tidur mendengkur setelah atau sebelum
shalat. Dan makin terasa aneh ketika lampu mushola/masjid harus
dimatikan agar tidurnya tidak silau dan nyaman. Orang yang mau shalat
malah serasa menumpang ditempat orang tidur, bukan malah sebaliknya,
yang tidur itu justru menumpang ditempat shalat. Aneh bukan?
Cobalah hari ini shalat jum'at lebih awal, akan terasa aneh, karena
masjid masih kosong, dan baru akan terisi penuh manakala khutbah kedua
menjelang selesai.

Cobalah anda kirim artikel atau tulisan yang berisi nasehat, akan
terasa aneh ditengah-tengah kiriman e-mail yang berisi humor,
plesetan, asal nimbrung, atau sekedar gue, elu, gue, elu dan
test..test, test saja.
Cobalah baca artikel atau tulisan yang berisi nasehat atau hadits,
atau ayat al qur'an, pasti akan terasa aneh ditengah orang-orang yang
membaca artikel-artikel lelucon, lawakan yang tak lucu, berita hot
atau lainnya.
Dan masih banyak keanehan-keanehan lainnya, tapi sekali lagi jangan
takut menjadi orang "aneh" selama keanehan kita sesuai dengan tuntunan
syari'at dan tata nilai serta norma yang benar.
Jangan takut "ditumbenin" ketika kita pergi kemasjid, dengan pakaian
rapih, karena itulah yang benar yang sesuai dengan al qur'an (Al
A'raf:31).

Jangan takut dikatakan "sok alim" ketika kita lakukan shalat dhuha
dikantor, wong itu yang lebih baik kok, dari sekedar ngobrol
ngalor-ngidul tak karuan.
Jangan takut dikatakan "Sok Rajin" ketika kita shalat tepat pada
waktunya, karena memang shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan
waktunya terhadap orang-orang beriman.

103. Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah
di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Annisaa:103)

Jangan takut untuk shalat jum'at/shalat berjama'ah berada dishaf
terdepan, karena perintahnya pun bersegeralah.....,Karena dishaf
terdepan itu ada kemuliaan sehingga dijaman Nabi Salallahu'alaihi
wassalam para sahabat bisa bertenggkar cuma gara-gara memperebutkan
berada dishaf depan.

9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu Mengetahui. (Al Jumu'ah:9)

Jangan takut kirim artikel berupa nasehat, hadits atau ayat-ayat al
qur'an, karena itu adalah sebagian dari tanggung jawab kita untuk
saling menasehati, saling menyeru dalam kebenaran, dan seruan kepada
kebenaran adalah sebaik-baik perkataan;

33. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya
Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Fusshilat:33)

Jangan takut artikel kita tidak dibaca, karena memang demikianlah
Allah menciptakan ladang amal bagi kita. Kalau sekali menyerukan,
sekali kirim artikel lantas semua orang mengikuti apa yang kita
serukan, habis donk ladang amal kita....
Kalau yang kirim e-mail humor saja, gue/elu saja, test-test saja bisa
kirim e-mail setiap hari, kenapa kita mesti risih dan harus berpikir
ratusan atau bahkan ribuan kali untuk saling memberi nasehat, aneh
nggak sih?

Jangan takut dikatain sok pinter, sok menggurui, sok tahu, lha wong
itu yang disuruh kok, "sampaikan dariku walau satu ayat"( Potongan
dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3461 dari hadits
Abdullah Ibn Umar)

Jangan takut baca e-mail dari siapapun, selama e-mail itu berisi
kebenaran dan bertujuan untuk kebaikan. Kita tidak harus baca e-mail
dari orang-orang terkenal, e-mail dari manajer atau dari siapapun
kalau isinya sekedar dan ala kadarnya saja, atau dari e-mail yang
isinya asal kirim saja. Mutiara akan tetap jadi mutiara terlepas dari
siapapun pengirimnya. Pun sampah tidak akan pernah menjadi emas,
meskipun berasal dari tempat yang mewah sekalipun.
Lakukan "keanehan-keanehan" yang dituntun manhaj dan syari'at yang
benar.
Kenakan jilbab dengan teguh dan sempurna, meskipun itu akan serasa
aneh ditengah orang-orang yang berbikini dan ber-U can see.
Jangan takut mengatakan perkataan yang benar (Al Qur'an & Hadist),
meskipun akan terasa aneh ditengah hingar bingarnya bacaan vulgar dan
tak bermoral.

Lagian kenapa kita harus takut disebut "orang aneh" atau "manusia
langka" jika memang keanehan-keanehan menurut pandangan mereka justru
yang akan menyelematkan kita.
Selamat jadi orang aneh yang bersyari'at dan bermanhaj yang benar.,
NB: Silahkan menyebarkan email ini, Tidak ada embel-embel apapun
melainkan "DAKWAH" mengharap Ridhonya Allah-ku