Oleh : KSuheimi
Tobat dapat diibaratkan dengan upaya seseorang mencabut dosa dari dirinya, sedangkan dosa dapat di ibaratkan bagaikan sebuah pohon. Bila dosa telah berulang-ulang dilakukan dan telah berlangsung lama, maka ia seperti pohon besar yang tidak mudah mencabutnya. Bila dosa baru sekali dua dilakukan, maka ia baru seperti benih yang baru tumbuh dan mudah mencabutnya.
Bertobat dari perbuatan buruk yang telah berulang-ulang dilakukan dan telah berlangsung lama, penyakitnya sudah kronis, sudah menahun, sulitnya seperti sulit mencabut pohon yang besar. Bila orang sangant sulit mengupayakan tobat, atau bahkan hampir mustahil melakukan tobat, maka hatinya dapat disebut sebagai hati yang sudah berkarat oleh dosa-dosanya. Itulah sebabnya Islam mengajarkan bahwa setiap kali muncul dosa atau kesalahan, ia haruslah segera bertobat dan mengirinya dengan perbuatan baik. Dengan segera bertobat itu, daya tarik dosa atau pengaruhnya terhadap diri segera pula lumpuh. Melalaikan tobat berarti membiarkan dosa itu menguasai diri, sehingga ia tetap berada dalam kerendahan.
Nah di bulan Haji tahun ini, agaknya kesempatan bagi kita untuk merenung sejenak, segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Menghitung dan menghisap diri sebelum di lakukan perhitungan kelak, Dan memasang serta meluruskan niat yang sungguh-sungguh akan merobah sifat yang mewarnai diri, berjanji dan bertobat untuk tidak mengulanginya lagi.
Tobat yang diinginkan itu adalah tobat yang sungguh-sungguh yang disebut dengan Tobatan nasuha. Yakni tobat tanpa keinginan lagi kembali kepada kesalahan atau kekeliruan yang sebelumnya di perbuat. Setiap Tobat yang sungguh-sungguh dengan niat yang tulus dan ikhlas, niscaya disambut Tuhan dengan senang, Karena Dia adalah peneriam tobat dan senang pada orang yang terus-menerus bertobat. Untuk itu saya teringat akan sebuah Firman suci Nya dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 104 : "Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah menerima Tobat dari hambanya dan menerima saksi dan bahwasanya Allah Maha peneriam Tobat lagi maha Penyayang".
Selesai melaksanakan ibadah di Padang Arafah, malamnya kita berangkat untuk mabid di Muzdhalifah. Memilih batu-batu kecil. Ibarat peluru yang dipersiapkan untuk dilemparkan pada Iblis di Jumratul Ula, Wustha dan Aqabah. Peristiwa ini menggambarkan dan mengulang kembali peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim A.S. Seperti terbaca dalam sebuah Firman SuciNya dalam Al-Qur'an.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata :" Wahai anakku, aku telah melihat dalam mimpiku, bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu." Ismael menjawab :"Wahai ayahku. laksanakanlah perintah Allah itu, ayah akan dapati aku sebagai orang yang sabar."(QS. 37:102).
Sebagai ayah sebetulnya Ibrahim berkuasa atas anaknya, tiada seorangpun yang bisa membantah atau melarang apa yang dilakukannya pada anaknya, dia berkuasa penuh, mau dihitamkan atau diputihkan terserah dia. Sebagai Rasul dan nabi Ibrahim harus segera menjalankan perintah Allah. Apalagi dia jelas menerima wahyu dan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya sebagai korban, namun dia tetap meminta kepada anak-nya, menyuruh fikirkan dan berdialog. Tidak terlihat sedikitpun dalam peristiwa itu unsur pemaksaan dan tak terlihat sedikitpun bahwa Ibrahim memperlihatkan kekuasaannya sebagai ayah serta dia mau menjalankan perintah semaunya sendiri. Dia bermusyawarah, diajaknya anaknya yang terkena akibat perintah itu untuk mencari jalan dan ikut memutuskan.
Senin, 03 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar